Oleh: Tinton Ditisrama, S.H., M.H.
Dosen Hukum Tata Negara, Universitas Jayabaya
————
Dalam percakapan publik soal keuangan negara, kata “pajak” sering kali menjadi istilah utama. Padahal, ada satu sumber penerimaan negara yang tidak kalah penting, namun masih jarang dibahas: Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Meski tidak disebut “pajak”, PNBP memegang peran vital dalam menjaga keuangan negara dan mewujudkan pelayanan publik yang lebih merata.
PNBP adalah uang yang masuk ke kas negara dari layanan publik, pemanfaatan sumber daya alam, pengelolaan aset negara, dan hak-hak negara lainnya. Contohnya bisa kita temui sehari-hari: biaya perizinan, retribusi atas pemanfaatan ruang laut, hingga hasil lelang barang sitaan. Semua itu masuk kategori PNBP.
Landasan konstitusional PNBP sangat kuat. Pasal 23A UUD 1945 menyebutkan bahwa semua pungutan untuk negara harus diatur dengan undang-undang. Sementara Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa kekayaan alam harus dikelola oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. PNBP adalah salah satu wujud nyata bagaimana negara menggunakan kekuasaan fiskalnya untuk melayani, bukan sekadar memungut.
Sebagai akademisi hukum tata negara, saya melihat bahwa PNBP memiliki dua peran strategis. Pertama, sebagai alat fiskal untuk menambah penerimaan negara tanpa menambah beban utang. Kedua, sebagai alat pengaturan: negara bisa menggunakan skema tarif PNBP untuk mendorong efisiensi, keberlanjutan, dan perlindungan terhadap masyarakat kecil.