Penulis Muhammad Gumarang
Study Tentang Pendapat Hukum SP3 SHD
BEENEWS.CO.ID – Bagaikan petir disiang bolong masyarakat Indonesia khususnya Kalimantan tengah dikejutkan tiba tiba ada pemberitahuan oleh KPK tentang terbitnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh KPK terhadap kasus tindak pidana korupsi Rp.5,8 triliun mantan bupati kotim Supian Hadi (SHD) pada hari selasa tanggal 12 Agustus 2024 yang telah diliput dan diberitakan berbagai berita media nasional dan lokal, dan nampaknya penerbitan proses SP3 tersebut berjalan senyap . Adapun alasan KPK penerbitan SP3 SHD tersebut adalah berdasar hasil auditor eksternal dalam hal ini adalah BPK RI. Sedangkan alasan BPK terhadap hal tersebut BPK beralasan tidak dapat menghitung kerugian negara dalam kasus korupsi SHD Rp.5,8 triliun tersebut karena BPK berpendapat bukan termasuk kategori kerugian keuangan Negara.
BPK dalam hal ini memaknai alasan tersebut mengaitkan landasan hukumnya pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 Undang Undang No.31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dengan putusan uji Mahkamah Konstitusi (MK) Putusan No.25/PUU-XIV/2016 menyatakan bahwa kata “dapat” dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. MK juga menyatakan bahwa menjadikan delik korupsi sebagai delik formil dapat mengakibatkan banyak aparatur sipil negara (ASN) dikenai tindak pidana korupsi, meskipun mereka hanya lalai atau membuat diskresi atau kebijakan untuk kepentingan umum.
Makna dari Putusan Uji Materi MK No.25/PUU-XIV/2016 dilatarbelakangi beberapa perkara penegak hukum tidak konsisten dalam menghitung kerugian perekonomian negara, angka atau nilai yang didapat cenderung berubah ubah dan tidak bisa di pertanggung jawaban. Hal tersebut juga dinilai MK menimbulkan ketidakpastian hukum dalam menentukan angka kerugian negara yang bisa menimbulkan adanya kriminalisasi atau penyalahgunaan wewenang (Abuse of Power) menurut pertimbangan MK dalam putusan uji materinya tersebut.
• Penyalahgunaan Wewenang Merupakan Salah Satu Unsur Tindak Pidana Korupsi
Dalam Undang Undang No.31 tahun 1999 Jo.Undang Undang No.20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Terdapat 2 Pasal yang kita kenal dalam menjerat para tindak pidana korupsi, yaitu Pasal 2 dan Pasal 3 UU tipikor. Namun kedua pasal tersebut ada yang dua hal menentukan adanya perbuatan pidananya, yaitu kalau dalam pasal 2 ayat (1) adanya unsur “Melawan Hukum” sedangkan dalam pasal 3 adanya unsur “Menyalahgunakan Kewenangan” dengan kata kuncinya “dapat”,yaitu dengan mencantumkan kata “dapat” menjadikan delik kedua Pasal tersebut menjadi delik formil artinya perbuatan tindak pidana korupsi harus mengacu kepada hukum positif (ius constitutum).
Namun dalam hal prakteknya sering disalahgunakan untuk menjangkau banyak perbuatan yang diduga merugikan keuangan negara akibat kebijakan atau keputusan diskresi atau asas freies ermessen yang bersifat mendesak dan belum ada landasan hukumnya, sehingga rentan abuse of power, menurut dalam perimbangan putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016.