Oleh: Tinton Ditisrama, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum, Universitas Jayabaya
BEENEWS.CO.ID – Revisi UU BUMN baru-baru ini membawa perubahan penting: Kementerian BUMN diubah menjadi Badan Pengatur BUMN, larangan rangkap jabatan diberlakukan untuk menteri dan wakil menteri, dan direksi serta komisaris BUMN ditegaskan sebagai penyelenggara negara. Secara prinsip, saya mendukung reformasi ini karena langkah-langkah tersebut memperkuat profesionalisme, akuntabilitas, dan kontribusi BUMN bagi kesejahteraan rakyat.
Namun, tantangan nyata tetap ada. Profesionalisasi BUMN tidak cukup hanya dengan perubahan regulasi formal. Tanpa regulasi pelaksana yang tegas dan mekanisme pengawasan independen, reformasi berisiko berhenti di simbolisme, sementara praktik tata kelola lama tetap berjalan.
Secara konstitusional, UU ini sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945: BUMN harus mengutamakan kepentingan rakyat. Namun mandat sosial versus orientasi profit belum diatur secara operasional. Tanpa pedoman jelas, BUMN bisa mengalami dilema antara kepentingan publik dan target keuangan, menimbulkan ketidakpastian hukum dan risiko politik.
Yang paling perlu diperkuat adalah proses legislasi. Revisi ini berjalan cepat, dengan keterlibatan publik yang terbatas. Demokrasi konstitusional menuntut meaningful participation agar UU tidak hanya sah secara formal, tetapi juga memiliki legitimasi sosial. Partisipasi masyarakat, akademisi, dan pemangku kepentingan lain harus dijamin agar UU BUMN benar-benar menjadi instrumen reformasi, bukan hanya dokumen politik.