Oleh: Tinton Ditisrama, S.H., M.H.
Dosen Hukum Tata Negara, dan Pemerhati Kebijakan Publik
Pernahkah kita membayangkan, betapa banyak orang yang menggantungkan hidupnya pada aplikasi ojek online? Dari pagi hingga malam, mereka bekerja di bawah aturan yang ditentukan oleh sistem—tentang tarif, potongan, hingga promosi. Tapi pertanyaannya: siapa yang mengatur sistem itu? Dan di mana negara saat warganya merasa diperlakukan tidak adil?
Beberapa waktu lalu, para pengemudi ojol kembali menyuarakan tuntutan mereka. Mereka minta potongan aplikasi dibatasi, tarif dibuat transparan, dan negara turun tangan lewat regulasi resmi. Bukan hanya karena soal uang, tapi karena tidak ada perlindungan hukum yang bisa mereka pegang. Status mereka masih “mitra”, tapi tidak punya posisi tawar. Hak-haknya tak jelas.
Kita bisa belajar dari negara lain. Di Amerika Serikat, pengemudi tetap dianggap kontraktor, tapi diberi perlindungan sosial dasar lewat undang-undang. Di Inggris dan Spanyol, mereka bahkan diakui sebagai “pekerja” dengan hak-hak layaknya karyawan. Di Indonesia? Masih belum ada aturan tegas soal ini. Semuanya dibiarkan mengambang.
Padahal, konstitusi kita menjamin hak atas pekerjaan yang layak dan kebebasan menyampaikan pendapat. Negara seharusnya hadir, apalagi saat warganya sudah turun ke jalan. Sayangnya, justru yang sering diajak bicara adalah aplikator, bukan pengemudi. Bahkan, keputusan-keputusan penting lebih sering dibahas di ruang tertutup, tanpa mendengar langsung suara dari bawah.