Oleh Tinton Ditisrama, S.H., M.H.
Dosen Hukum Tata Negara, Universitas Jayabaya
“Ini wilayah gue. Kalau lo mau kerja di sini, gue minta jatah.”
Kalimat ini bukan kutipan film aksi. Ini nyata, terjadi di Kota Cilegon, Banten. Dua orang preman nekat menikam pemilik proyek hanya karena tak diberi “jatah proyek.” Korban tergeletak bersimbah darah. Pelaku akhirnya ditangkap polisi.
Kejadian tersebut dilaporkan oleh inst-media.id dan bidikbanten.com (13–14 Juni 2025). Premanisme bukan hanya hidup, tapi “masih berkuasa” di sebagian ruang publik kita. Ironisnya, ini terjadi di tengah geliat pembangunan infrastruktur dan program peningkatan iklim investasi yang digaungkan pemerintah.
Warga setempat pun resah. Dalam laporan bidikbanten.com, masyarakat meminta aparat kepolisian dan pemerintah kota untuk menjamin rasa aman. Karena ini bukan sekadar kekerasan antarindividu, tapi ancaman sistemik terhadap hak hidup aman yang dijamin konstitusi.
Negara Hadir, Tapi Setelah Luka Menganga
Pasal 28G UUD 1945 menjamin hak setiap orang atas perlindungan diri dari ancaman dan rasa aman. Sayangnya, dalam kasus ini, negara baru hadir setelah korban ditikam. Ini menunjukkan bahwa sistem deteksi dini dan pencegahan di tingkat lokal masih lemah.
Premanisme yang menyusup ke proyek-proyek lokal menunjukkan adanya kekosongan otoritas hukum. Negara kalah cepat dari aktor informal yang mengisi ruang kekuasaan di lapangan. Proyek yang seharusnya menjadi bagian dari pelayanan publik justru dipalak dengan logika jalanan.