Foto 2_jaemyung/inst (LeeJaeMyung)
Jakarta, BEENEWS.CO.ID – Presiden terpilih Korea Selatan, Lee Jae Myung, menyatakan komitmennya untuk memulihkan hubungan antar-Korea yang memburuk dalam beberapa tahun terakhir. Dalam pidato perdananya usai dinyatakan menang, Lee menegaskan akan mendorong dialog dengan Korea Utara demi keamanan dan perdamaian kawasan.
“Sembari memperkuat pertahanan nasional, saya akan mendorong komunikasi antar-Korea. Keamanan sejati bukan soal menang perang, tetapi mencegah keinginan bertikai,” ujar Lee, dikutip dari Yonhap, Senin (2/6).
Lee menambahkan, kedua negara Korea harus bisa hidup berdampingan dan mencari jalan bersama untuk mencapai kesejahteraan bersama. Menurutnya, stabilitas di Semenanjung Korea merupakan kunci untuk menjamin keamanan nasional dan kehidupan warga.
Pernyataan ini menandai perubahan tajam dari kebijakan pendahulunya, Yoon Suk Yeol, yang dikenal bersikap keras terhadap Korea Utara. Di masa kepemimpinan Yoon, latihan militer gabungan dengan Amerika Serikat dimasifkan dan perjanjian militer 2018 dengan Korut—yang sebelumnya meredakan ketegangan—ditangguhkan sepenuhnya pada Juni 2024, menyusul aksi balon sampah dari Pyongyang.
“Meski tidak identik dengan pemerintahan Moon Jae In, Lee tampaknya akan mengambil langkah moderat dan terbuka terhadap dialog, sejalan dengan kebijakan progresif sebelumnya,” ujar Hong Min, peneliti senior di Korea Institute for National Unification, kepada Yonhap.
Moon Jae In, presiden Korea Selatan 2017–2022, dikenal dengan pendekatan diplomatisnya terhadap Korea Utara, bahkan sempat bertemu Kim Jong Un sebanyak tiga kali pada 2018. Namun, pendekatan itu terhenti setelah bergantinya kekuasaan dan meningkatnya ketegangan di kawasan.
Kini, situasi semakin pelik. Korea Utara secara resmi menyebut Korea Selatan sebagai “musuh utama” sejak 2023, dan mencoret agenda penyatuan dari kebijakan nasionalnya. Sementara itu, rezim Kim Jong Un terus mengembangkan program nuklir, rudal jarak jauh, hingga kapal selam bertenaga nuklir—diduga dengan dukungan teknis dari Rusia.
Selain itu, hubungan erat Korea Utara dan Rusia kian terlihat, termasuk laporan pengiriman pasukan Korut untuk membantu Rusia dalam perang di Ukraina.
Meski jalan menuju rekonsiliasi dinilai terjal, Lee disebut akan memulai dari kebijakan simbolik dan administratif, seperti mencabut larangan pengiriman selebaran ke Korut serta menghidupkan kembali pakta militer yang dibekukan.
“Peluangnya memang tipis, apalagi jika menyangkut denuklirisasi. Tapi pesan damai tetap penting untuk jangka panjang,” tutup Hong.
Langkah awal Lee diprediksi akan diuji dalam perayaan Hari Pembebasan Nasional Korea, 15 Agustus mendatang, yang kerap menjadi panggung diplomasi simbolik antar-Korea.
(Redaksi)