Oleh:
Tinton Ditisrama, S.H., M.H.
Pengajar Hukum Tata Negara, Universitas Jayabaya
Belakangan ini, publik kembali dikejutkan oleh sejumlah pemberitaan mengenai aksi kekerasan dan intimidasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu yang mengatasnamakan organisasi kemasyarakatan (ormas). Premanisme berkedok ormas menjadi topik hangat di media massa dan media sosial, menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Tidak sedikit yang kemudian mempertanyakan: apakah ormas masih relevan dalam negara demokrasi?
Sebelum terburu-buru menstigma, penting bagi kita untuk memilah: ormas sebagai sarana partisipasi warga negara adalah bagian sah dari demokrasi, tetapi penyimpangan oleh segelintir pihak tidak boleh mengaburkan fungsi ideal ormas dalam kerangka negara hukum.
Secara konstitusional, kebebasan berserikat dan berkumpul dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Hal ini merupakan salah satu pilar utama negara demokratis. Dalam teori demokrasi yang dikemukakan Robert A. Dahl, partisipasi masyarakat melalui lembaga-lembaga non-negara seperti ormas adalah indikator penting demokrasi yang sehat. Sementara dalam konsep negara hukum (rechtstaat) menurut Friedrich Julius Stahl, kekuasaan negara harus dibatasi dan dikontrol, antara lain melalui peran aktif masyarakat sipil.