Namun, pernyataan tersebut tetap menyisakan masalah struktural dalam hukum kita: mengapa perlu membuat pasal yang bisa membingungkan atau menimbulkan multitafsir? Dalam negara hukum, asas legalitas menuntut konsistensi antar peraturan. Ketika ada konflik antara dua undang-undang, harus dilihat secara sistematis, bukan sekadar deklaratif.
KPK tetap berpedoman pada UU 28/1999 dan sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan dalam BUMN tetap bagian dari keuangan negara. Maka, kerugian BUMN akibat korupsi dapat tetap dikategorikan sebagai kerugian negara, dan pejabatnya tunduk pada yurisdiksi KPK.
Dalam logika hukum, lex specialis derogat legi generali memang bisa berlaku. Tetapi dalam konteks ini, justru UU 28/1999-lah yang lebih bersifat khusus dalam mengatur integritas penyelenggara negara, dibanding UU BUMN yang lebih sektoral.
Jika pasal-pasal bermasalah ini dibiarkan, kita sedang menyaksikan bagaimana politik hukum menjauh dari semangat reformasi dan justru membuka jalan licin bagi korupsi yang tak tersentuh. BUMN, sebagai perpanjangan tangan negara dalam bidang ekonomi, tidak bisa berdiri di luar sistem integritas nasional.
Pemerintah dan DPR seharusnya tidak hanya menjelaskan maksud pasal, tetapi mengevaluasi dan menghapus norma-norma hukum yang dapat memperlemah pengawasan publik. Hukum bukan hanya soal redaksi, tetapi juga arah: apakah ia melindungi rakyat atau justru elite?