Oleh Tinton Ditisrama, S.H., M.H.
Dosen Hukum Tata Negara, Universitas Jayabaya
Pernyataan Ketua KPK yang menegaskan bahwa direksi dan komisaris BUMN tetap termasuk penyelenggara negara, meski dalam UU BUMN terbaru dinyatakan sebaliknya, patut diapresiasi. Ini bukan sekadar perdebatan tafsir hukum, tetapi menyangkut fondasi utama dari tata kelola negara yang bersih dan akuntabel.
UU Nomor 28 Tahun 1999 secara tegas menyebut bahwa pejabat yang menerima mandat pengelolaan keuangan negara, termasuk direksi dan komisaris BUMN, adalah penyelenggara negara. Artinya, mereka tunduk pada prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas dugaan tindak pidana korupsi.
Namun, UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN justru menyatakan sebaliknya. Pasal 9G menyebut bahwa direksi dan komisaris bukan penyelenggara negara, dan menyatakan bahwa kerugian BUMN bukan kerugian negara. Ketentuan ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah ini bentuk perlindungan hukum, atau justru celah impunitas?
Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, menanggapi kekhawatiran ini dengan menegaskan bahwa aparat penegak hukum tetap dapat memproses direksi dan komisaris BUMN jika terbukti melakukan korupsi. “Kalau yang namanya korupsi ya siapapun yang terlibat ya pasti dilakukan [tindakan hukum], apalagi kalau dilakukan atas itikad buruk,” ujarnya.