Oleh: Tinton Ditisrama, S.H., M.H.
Dosen Hukum Tata Negara, Universitas Jayabaya
“Sejak 2016, Satgas Saber Pungli mencatat telah menangani lebih dari 36.000 kasus pungutan liar. Namun, itu baru permukaan. Masih banyak pungli yang terjadi di lorong-lorong birokrasi, tidak tercatat, tidak dilaporkan, dan dianggap biasa.”
Pungutan liar bukan sekadar pelanggaran hukum, ia mencerminkan kegagalan sistemik negara dalam mengatur layanan publik. Ketika tarif layanan tidak jelas, tidak transparan, dan tidak disosialisasikan, maka lahirlah celah bagi penyalahgunaan kekuasaan. Dalam konteks ini, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sesungguhnya memegang peran penting yang sering dilupakan: fungsi regulatif _(regulatory function)_.
Sebagai instrumen fiskal, PNBP berfungsi menambah penerimaan negara. Namun sebagai instrumen hukum tata negara, PNBP adalah alat negara untuk memastikan bahwa setiap pungutan yang dibebankan kepada masyarakat memiliki dasar hukum yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan. Pasal 23A UUD 1945 menegaskan bahwa pungutan yang bersifat memaksa harus diatur dengan undang-undang.
Dalam konteks administrasi publik, PNBP adalah pagar etik dan hukum bagi pelayanan birokrasi. Ia menetapkan standar biaya layanan, menutup ruang abu-abu tarif, dan mendorong transparansi. Tanpa ini, birokrasi akan membuka dua jalur: jalur resmi yang lambat dan jalur tidak resmi yang cepat—tapi berbiaya tinggi secara moral dan hukum.