Oleh: Tinton Ditisrama, S.H.,M.H.Dosen Hukum Tata Negara, Universitas Jayabaya
Kasus pelecehan seksual oleh dokter di Garut, Bandung, dan Malang kembali membuka borok yang membusuk dalam sistem pelayanan kesehatan kita. Modus yang digunakan sangat menyesatkan: pelayanan USG gratis, pemeriksaan rutin, hingga kedok klinik sosial. Di balik itu, terungkap praktik cabul yang menodai kehormatan pasien, khususnya perempuan.
Lebih dari sekadar perilaku individual, kasus ini menyuarakan kegagalan sistemik. Negara seolah kehilangan fungsi pengawasan, bahkan tak cukup memberikan perlindungan atas hak konstitusional warganya.
UU Kesehatan Baru: Apakah Negara Lebih Siap?
UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan hadir sebagai pengganti UU Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004. Undang-undang ini menjanjikan pendekatan holistik, berbasis HAM, dan terintegrasi. Namun, pertanyaannya: apakah implementasinya cukup kuat untuk melindungi pasien dari kekerasan seksual oleh tenaga medis?
Pasal 4 ayat (1) UU ini secara tegas menjamin hak setiap orang atas pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau, serta perlindungan atas data pribadi dan hak untuk menolak tindakan medis. Sayangnya, dalam praktik, relasi kuasa antara pasien dan dokter sering kali timpang dan rentan disalahgunakan.