Oleh: Tinton Ditisrama
Dosen Hukum Tata Negara, Universitas Jayabaya
Penangkapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, oleh Kejaksaan Agung menampar wajah peradilan kita. Arif diduga menerima suap senilai Rp60 miliar untuk mengatur vonis lepas dalam perkara besar: korupsi minyak goreng yang merugikan negara dan menghancurkan harga pasar kebutuhan pokok. Jika dugaan ini terbukti, maka ini bukan hanya soal pelanggaran etik, tapi pelanggaran terhadap rasa keadilan publik dalam skala besar.
Penegakan hukum kehilangan pijakan moral ketika meja hijau sendiri dikotori praktik suap. Ini bukan sekadar persoalan individu hakim yang menyimpang, tetapi mencerminkan kegagalan sistem pengawasan dan lemahnya reformasi lembaga kehakiman.
Kita memiliki Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sebagai dua pilar pengawasan internal dan eksternal. Namun nyatanya, Kejaksaan Agung—yang bukan lembaga yudikatif—yang lebih dulu mendeteksi dan menangkap pelanggaran tersebut. Ini menandakan bahwa sistem pengawasan di internal lembaga peradilan tak berfungsi optimal.
Apa artinya negara hukum jika lembaga kehakiman yang seharusnya menjamin keadilan justru menjadi sumber ketidakadilan? Ketika hakim tidak lagi menjunjung tinggi integritas, maka kepercayaan publik terhadap hukum pun runtuh. Di titik ini, masyarakat bisa merasa bahwa mencari keadilan di pengadilan adalah ilusi, dan lebih memilih jalur informal, bahkan kekerasan, sebagai jalan penyelesaian konflik.
Kasus ini harus dibaca sebagai panggilan darurat bagi reformasi lembaga peradilan. Tanpa perubahan nyata, kita hanya akan menyaksikan kasus serupa berulang. Ada beberapa langkah mendesak yang perlu dilakukan.
Pertama, audit kekayaan hakim harus dilakukan secara terbuka, rutin, dan diumumkan ke publik. Transparansi adalah benteng pertama pencegahan korupsi.
Kedua, Komisi Yudisial harus diperkuat, baik dari sisi kewenangan maupun sumber daya. Pengawasan terhadap perilaku hakim tidak boleh bersifat simbolik atau reaktif, melainkan aktif dan menyeluruh.
Ketiga, proses rekrutmen dan promosi hakim harus didasarkan pada rekam jejak integritas, bukan sekadar senioritas atau kepandaian teknis. Integritas adalah fondasi mutlak seorang hakim.
Kita tidak bisa terus-menerus membiarkan lembaga peradilan seperti rumah tanpa penjaga. Ketika keadilan bisa diperjualbelikan, maka demokrasi kehilangan penyangga utamanya. Negara hukum berubah menjadi negara pasar, di mana putusan bisa dibeli, dan hukum menjadi dagangan.
Publik perlu terus mendorong perubahan ini. Kita tidak bisa hanya mengandalkan internal sistem peradilan untuk membenahi dirinya. Pengawasan masyarakat sipil, jurnalisme investigatif, dan partisipasi akademisi sangat diperlukan untuk menjaga agar lembaga peradilan tetap dalam rel konstitusi.
Penangkapan Ketua PN Jaksel seharusnya menjadi titik balik, bukan hanya berita lalu yang segera dilupakan. Jika tidak ada langkah tegas, maka kita hanya menunggu waktu sebelum kasus serupa kembali muncul—dan lagi-lagi demokrasi yang harus menanggung akibatnya.