Play Video

Pengambilalihan Tanah atau Rumah Warisan Terbengkalai oleh Negara: Tinjauan Politik Hukum Agraria

Oleh: Tinton Ditisrama, S.H., M.H.Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Jayabaya

 

Kebijakan pemerintah untuk mengambil alih tanah atau rumah warisan yang terbengkalai menimbulkan berbagai pertanyaan dari perspektif politik hukum agraria. Langkah ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar, yang menegaskan bahwa negara berhak mengelola aset yang dibiarkan tanpa pemanfaatan dalam jangka waktu tertentu.

 

Dari sudut pandang politik hukum agraria, kebijakan ini mencerminkan upaya negara dalam menegakkan fungsi sosial hak atas tanah, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960. Prinsip ini menegaskan bahwa tanah tidak boleh hanya menjadi objek spekulasi atau dibiarkan tidak produktif tanpa alasan yang jelas. Dalam konteks urbanisasi yang pesat dan kebutuhan akan lahan bagi pembangunan serta kepentingan sosial, kebijakan ini tampak sebagai solusi strategis untuk mengoptimalkan penggunaan lahan.

 

Namun, penerapan kebijakan ini harus dikritisi lebih dalam. Salah satu tantangan utama adalah bagaimana memastikan bahwa proses identifikasi dan pengambilalihan aset dilakukan dengan transparan, adil, dan akuntabel. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak rumah atau tanah warisan terbengkalai bukan karena kesengajaan pemiliknya, tetapi karena faktor administratif, ekonomi, atau konflik keluarga yang belum terselesaikan. Oleh karena itu, ada risiko bahwa kebijakan ini dapat menimbulkan ketidakadilan bagi pemilik atau ahli waris yang masih berusaha mempertahankan haknya.

 

Selain itu, definisi ‘terbengkalai’ dalam regulasi ini harus dirumuskan dengan lebih jelas dan objektif. Kriteria seperti ‘tidak dimanfaatkan’ atau ‘tidak dipelihara’ perlu memiliki indikator yang konkret agar tidak menjadi celah bagi penyalahgunaan kewenangan oleh aparat. Misalnya, apakah tanah yang hanya ditumbuhi rumput liar dalam waktu tertentu langsung dianggap terbengkalai? Bagaimana dengan rumah yang jarang ditempati karena pemiliknya berada di luar kota atau luar negeri? Tanpa kejelasan ini, kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan sengketa hukum yang panjang.

Baca Juga :  Pendekatan Metaphorical Thinking untuk Membangun Pemahaman Konseptual

 

Dari perspektif perlindungan hak kepemilikan, kebijakan ini juga perlu mempertimbangkan aspek kesejahteraan rakyat. Alih-alih langsung mengalihkan kepemilikan ke negara, pemerintah seharusnya memberikan solusi alternatif, seperti:

 

1. Skema Insentif bagi Pemilik: Pemerintah dapat memberikan insentif berupa pengurangan pajak atau bantuan renovasi bagi pemilik yang berkomitmen untuk mengelola dan memanfaatkan tanah atau rumahnya. Insentif ini dapat mendorong pemilik untuk mempertahankan aset mereka tanpa beban administratif dan ekonomi yang berlebihan.

 

2. Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Warisan: Banyak tanah atau rumah warisan yang terbengkalai disebabkan oleh sengketa antar ahli waris yang belum terselesaikan. Pemerintah seharusnya berperan dalam memfasilitasi mediasi dan memberikan layanan hukum gratis atau terjangkau bagi keluarga yang mengalami kendala dalam proses pewarisan. Hal ini akan mengurangi potensi tanah terlantar akibat konflik hukum.

 

3. Program Reaktivasi Aset melalui Kemitraan: Pemerintah dapat menciptakan skema kerja sama antara pemilik tanah dan pihak ketiga, seperti koperasi, badan usaha milik negara, atau investor swasta. Misalnya, tanah yang tidak dimanfaatkan dapat dijadikan lahan produktif dengan sistem bagi hasil antara pemilik dan pengelola. Dengan cara ini, tanah tetap dimiliki secara sah oleh pemiliknya tetapi juga dapat menghasilkan manfaat ekonomi.

 

4. Pemberian Tenggang Waktu yang Wajar: Sebelum negara mengambil alih aset, pemilik atau ahli waris harus diberikan tenggang waktu yang cukup untuk membuktikan kepemilikan dan menunjukkan niat untuk mengelola properti tersebut. Mekanisme ini penting agar hak kepemilikan tidak hilang secara sepihak tanpa ada kesempatan bagi pemilik untuk memperbaiki situasi.

Baca Juga :  5 Tempat Wisata di Papua yang Tak Kalah Indah dari Raja Ampat

 

5. Penyuluhan dan Edukasi Hukum bagi Masyarakat: Banyak pemilik aset tidak menyadari kewajiban hukum mereka dalam menjaga dan mengelola tanah warisan. Pemerintah dapat melakukan sosialisasi secara masif mengenai hak dan kewajiban kepemilikan tanah, termasuk bagaimana menghindari status tanah terlantar.

 

Pendekatan ini tidak hanya lebih adil, tetapi juga sejalan dengan semangat reforma agraria yang menekankan keseimbangan antara kepentingan negara dan hak individu. Dengan adanya alternatif-alternatif tersebut, kebijakan pengambilalihan aset tidak serta-merta menjadi langkah pemusatan kepemilikan tanah oleh negara, tetapi lebih kepada solusi untuk memastikan pemanfaatan tanah secara optimal tanpa mengabaikan hak-hak rakyat.

 

Sebagai rekomendasi, pemerintah perlu memperkuat mekanisme sosialisasi dan pendampingan hukum bagi masyarakat agar tidak terjadi ketidakpastian hukum akibat kebijakan ini. Selain itu, perlu ada mekanisme banding yang jelas bagi pemilik tanah atau rumah yang merasa dirugikan. Dengan demikian, kebijakan ini dapat diterapkan secara efektif tanpa mengorbankan hak-hak masyarakat.

 

Secara keseluruhan, kebijakan pengambilalihan tanah atau rumah warisan yang terbengkalai oleh negara adalah langkah yang dapat dipahami dalam rangka optimalisasi pemanfaatan lahan. Namun, dalam implementasinya, kebijakan ini harus tetap memperhatikan prinsip keadilan, transparansi, dan perlindungan hak kepemilikan agar tidak menjadi instrumen yang justru merugikan masyarakat.

Lihat Berita Terkait

Play Video
Play Video
Play Video

Bukan HOAX Share Yuk!!!

Bagikan berita kepada kerabat dan teman di chat atau sosial media!

Share on facebook
Share on whatsapp
Share on twitter
Share on email

Berita yang mungkin anda suka!