Play Video

Filipina, ICC, dan Duterte: Ketika Keadilan Tak Bisa Dihindari

Oleh: Tinton Ditisrama, S.H, M.H
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Jayabaya

 

Dilansir dari DetikNews (Selasa, 11 Maret 2025)– Mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, akhirnya diterbangkan ke Den Haag untuk menghadapi pengadilan di International Criminal Court (ICC). Tuduhan yang dihadapinya tidak main-main: kejahatan terhadap kemanusiaan terkait kampanye anti-narkoba yang berlangsung selama masa kepemimpinannya. Kampanye ini, yang dikenal sebagai war on drugs, menyebabkan ribuan kematian, termasuk eksekusi di luar hukum terhadap tersangka pengguna dan pengedar narkoba.

 

Langkah ini menjadi titik penting dalam perdebatan tentang hukum nasional versus hukum internasional. Bagaimana ICC bisa mengadili seorang mantan kepala negara? Apa dasar hukumnya? Dan bagaimana ini berdampak bagi Filipina dan negara lain di dunia?

 

Apa Itu ICC?

 

International Criminal Court (ICC) adalah lembaga peradilan pidana internasional yang dibentuk melalui Statuta Roma tahun 1998 dan mulai beroperasi pada 2002. ICC memiliki mandat untuk mengadili individu yang diduga melakukan kejahatan berat seperti genosida, kejahatan perang, kejahatan agresi, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

 

Yang menarik, ICC bukan bagian dari sistem PBB, tetapi berdiri sebagai lembaga independen. Meski begitu, ICC kerap bekerja sama dengan Dewan Keamanan PBB dalam menangani kasus-kasus tertentu.

 

Hukum Tata Negara: Benturan Kedaulatan dan Kewajiban Internasional

 

Filipina sebenarnya telah menarik diri dari ICC pada 2019, setelah Duterte mengumumkan keputusan tersebut pada 2018 sebagai respons terhadap penyelidikan terhadap kebijakan perang melawan narkoba. Namun, dalam hukum internasional, penarikan ini tidak menghapus kewajiban negara terhadap kasus yang terjadi sebelum tanggal efektif keluarnya mereka dari ICC.

Baca Juga :  Tanggung Jawab KPK Terhadap Pilkada Kalteng 2024 dari Presfektif Status Tersangka SHD

 

Selain itu, di Filipina sendiri, ada perdebatan mengenai legalitas penarikan tersebut. Konstitusi Filipina menyatakan bahwa pengesahan atau pencabutan traktat internasional harus melalui Senat. Banyak pakar hukum berargumen bahwa langkah Duterte menarik diri dari ICC tanpa persetujuan legislatif bisa dianggap inkonstitusional. Dengan demikian, ada dasar hukum yang cukup kuat untuk mengatakan bahwa yurisdiksi ICC atas Duterte tetap berlaku.

 

Hukum Internasional: Tidak Ada Tempat Bersembunyi untuk Kejahatan Berat

 

Penangkapan Duterte menunjukkan bahwa hukum internasional semakin memiliki daya paksa terhadap individu, bahkan mantan kepala negara. Ini mengingatkan pada kasus pemimpin lain seperti mantan Presiden Sudan, Omar al-Bashir, yang juga diincar ICC atas dugaan kejahatan di Darfur.

 

Dalam hukum internasional, asas complementarity berlaku, yang berarti ICC hanya akan turun tangan jika sistem hukum nasional tidak mampu atau tidak mau mengadili pelaku kejahatan serius. Dalam kasus Filipina, meskipun ada upaya domestik untuk menyelidiki kasus-kasus pembunuhan dalam war on drugs, banyak pihak menilai sistem hukum di negara itu tidak cukup independen untuk mengadili Duterte secara objektif.

Baca Juga :  Pemerintahan Koalisi: Luruhnya Asas Dasar Partai Politik

 

Hukum Pidana Internasional: Menerapkan Akuntabilitas bagi Kepala Negara

 

Dalam konteks hukum pidana internasional, kejahatan yang dituduhkan kepada Duterte masuk dalam kategori crimes against humanity. Ini bukan sekadar kejahatan biasa, tetapi tindakan sistematis atau meluas yang menargetkan penduduk sipil.

 

Yang menarik, dalam hukum pidana internasional, seorang kepala negara tidak bisa menggunakan jabatannya sebagai alasan untuk lolos dari tanggung jawab pidana. Ini ditegaskan dalam Pasal 27 Statuta Roma, yang menyatakan bahwa kekebalan kepala negara tidak menghalangi ICC untuk menuntut mereka. Dengan kata lain, meskipun Duterte pernah menjadi presiden, ia tetap bisa dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya.

 

Kesimpulan: Awal dari Babak Baru?

 

Kasus Duterte menjadi ujian penting bagi ICC dan sistem hukum internasional. Jika proses ini berjalan dengan baik, ini bisa menjadi preseden bahwa pemimpin negara tidak bisa dengan mudah menghindari akuntabilitas atas kejahatan yang mereka lakukan. Namun, di sisi lain, kasus ini juga bisa memicu reaksi politik yang tajam, baik di dalam Filipina maupun di negara lain yang pemimpinnya merasa terancam oleh yurisdiksi ICC.


Apapun hasilnya, satu hal jelas: era impunitas bagi pemimpin negara mulai goyah, dan dunia semakin bergerak menuju penegakan hukum yang lebih kuat dan adil.

Lihat Berita Terkait

Play Video
Play Video
Play Video

Bukan HOAX Share Yuk!!!

Bagikan berita kepada kerabat dan teman di chat atau sosial media!

Share on facebook
Share on whatsapp
Share on twitter
Share on email

Berita yang mungkin anda suka!