Oleh: Tinton Ditisrama, S.H, M.H
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Jayabaya
Pembongkaran Hibisc Fantasy Puncak oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menimbulkan berbagai perdebatan, terutama terkait pelanggaran aturan tata ruang dan dampaknya terhadap lingkungan. Kasus ini juga mencerminkan bagaimana pemerintah daerah menegakkan hukum dalam tata kelola perizinan dan pengawasan lingkungan. Mari kita bahas lebih dalam dari beberapa aspek hukum utama.
Hukum Tata Ruang: Ketika Alih Fungsi Lahan Melanggar Aturan
Dalam hukum tata ruang, setiap wilayah memiliki peruntukannya sendiri, misalnya sebagai kawasan lindung, pemukiman, atau zona wisata. Hibisc Fantasy Puncak awalnya mendapatkan izin pembangunan untuk lahan seluas 4.800 meter persegi, tetapi dalam praktiknya meluas hingga 15.000 meter persegi. Masalahnya, lahan yang digunakan adalah bekas perkebunan teh yang seharusnya berfungsi sebagai daerah resapan air.
Pelanggaran seperti ini dapat menyebabkan bencana lingkungan, seperti banjir dan tanah longsor, karena daya serap air berkurang drastis. Hal ini melanggar Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang mengatur bahwa setiap perubahan fungsi lahan harus mendapatkan izin yang sah dan memperhatikan dampak ekologisnya.
Hukum Tata Negara: Keberanian Gubernur dalam Menegakkan Aturan