oleh: Tinton Ditisrama, S.H., M.H. Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Jayabaya
Di bawah sorotan lampu megah ruang sidang DPR RI, keheningan menyelimuti para anggota dewan yang tengah menanti keputusan besar. Hari itu, 4 Februari 2025, menjadi tonggak sejarah bagi perekonomian Indonesia. Dengan palu yang diketuk tegas, lahirlah Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara), sebuah entitas superholding yang dirancang untuk membawa pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ke era baru.
Di balik keputusan ini, terdapat urgensi yang telah lama menjadi perhatian banyak pihak. Selama bertahun-tahun, BUMN di Indonesia beroperasi secara terpisah, terkadang dengan kebijakan yang tumpang tindih dan efisiensi yang kurang optimal. Padahal, Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa perekonomian nasional harus dikelola secara kolektif dengan prinsip kekeluargaan, serta sektor-sektor strategis harus berada di bawah kendali negara. Prinsip hukum tata negara yang mendasari pembentukan BPI Danantara bertujuan untuk memastikan bahwa pengelolaan BUMN selaras dengan amanat konstitusi.
Revisi terhadap Undang-Undang BUMN menjadi langkah konstitusional untuk memberikan legitimasi hukum bagi Danantara sebagai superholding. Pasal 3A Revisi Undang-Undang BUMN menegaskan bahwa kekuasaan pengelolaan BUMN berada di tangan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Namun, karena kompleksitasnya, sebagian kewenangan ini dilimpahkan kepada Menteri BUMN dan BPI Danantara. Dalam perspektif hukum tata negara, pelimpahan kewenangan ini merupakan bagian dari prinsip delegasi kewenangan administratif yang sah dalam sistem pemerintahan presidensial.
Sebagai lembaga yang mengelola investasi negara dengan modal awal sebesar Rp1.000 triliun, Danantara bertumpu pada prinsip tata kelola yang baik (Good Corporate Governance). Seperti seorang arsitek yang membangun fondasi kokoh, Danantara bertumpu pada beberapa pilar utama. Pasal 3F menetapkan bahwa Danantara bertanggung jawab atas pengelolaan dividen BUMN, memastikan bahwa keuntungan yang diperoleh dapat diinvestasikan kembali demi pembangunan ekonomi nasional. Selain itu, lembaga ini memiliki kewenangan untuk menyetujui penambahan atau pengurangan penyertaan modal BUMN, serta memberikan dan menerima pinjaman dengan persetujuan Presiden.
Namun, dalam perspektif hukum tata negara, kekuasaan besar harus diiringi dengan mekanisme pengawasan yang ketat. Dalam Pasal 3Y ditegaskan bahwa meskipun Danantara memiliki kewenangan luas, ada batasan hukum yang harus ditaati. Pejabat, menteri, dan pegawai badan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas kerugian selama mereka dapat membuktikan bahwa keputusan yang diambil didasarkan pada itikad baik, transparansi, dan tanpa benturan kepentingan. Prinsip ini sejalan dengan asas akuntabilitas dalam hukum administrasi negara, yang memastikan bahwa pejabat negara tidak dapat disalahkan atas kebijakan yang diambil secara profesional dan sesuai aturan.
Sebagai sebuah superholding, Danantara bukanlah konsep baru di dunia. Singapura memiliki Temasek Holdings, Malaysia mengandalkan Khazanah Nasional, dan kini Indonesia menghadirkan BPI Danantara sebagai motor penggerak ekonomi nasional. Dari perspektif hukum tata negara, pembentukan Danantara menunjukkan pergeseran kebijakan ekonomi yang lebih terstruktur dan terpusat, selaras dengan model-model yang diterapkan negara lain dalam mengelola aset negara.
Namun, perjalanan Danantara tidak akan mudah. Tantangan utama yang harus dihadapi adalah pengawasan dan transparansi. Dalam sejarahnya, tidak sedikit lembaga negara yang gagal akibat lemahnya pengawasan dan penyalahgunaan wewenang.
Oleh karena itu, independensi manajemen menjadi perhatian utama. Direksi yang terpilih harus benar-benar profesional, bebas dari intervensi politik, dan mengedepankan prinsip Good Corporate Governance (GCG). Transparansi informasi kepada publik juga harus menjadi prioritas utama untuk membangun kepercayaan rakyat terhadap pengelolaan aset negara.
Dari perspektif hukum tata negara, pengawasan terhadap BPI Danantara harus dilakukan melalui mekanisme checks and balances yang melibatkan berbagai lembaga negara, termasuk DPR dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Selain itu, perlu ada regulasi turunan dalam bentuk Peraturan Pemerintah yang mengatur lebih lanjut mengenai mekanisme pengelolaan investasi dan mitigasi risiko dalam pengelolaan aset negara.
Di sisi lain, keberadaan Danantara juga harus menjaga keseimbangan dengan sektor swasta. Jangan sampai entitas ini justru menciptakan monopoli yang merugikan iklim bisnis dan menghambat inovasi. Oleh karena itu, kebijakan yang jelas mengenai batasan peran superholding ini harus ditetapkan agar sektor swasta tetap bisa berkembang secara sehat dan kompetitif. Dalam perspektif hukum tata negara, hal ini berkaitan dengan perlindungan terhadap kebebasan berusaha sebagaimana diatur dalam Pasal 28D UUD 1945, yang menjamin kepastian hukum bagi pelaku usaha.
Dengan segala tantangannya, pembentukan BPI Danantara tetap merupakan langkah strategis yang tak terhindarkan. Dengan pengelolaan yang profesional, transparan, dan akuntabel, entitas ini berpotensi menjadi tonggak utama dalam pembangunan ekonomi nasional. Namun, keberhasilannya tidak hanya bergantung pada regulasi dan kebijakan, tetapi juga pada pengawasan ketat, dukungan masyarakat, serta komitmen bersama untuk menjadikannya instrumen yang benar-benar bekerja demi kesejahteraan rakyat.
Di masa depan, sejarah akan mencatat apakah BPI Danantara menjadi kisah sukses yang membanggakan atau sekadar lembaga yang gagal memenuhi harapan. Semua tergantung pada bagaimana kita, sebagai bangsa, memastikan bahwa lembaga ini berjalan di jalur yang benar, sesuai dengan amanat konstitusi dan prinsip hukum tata negara yang kita junjung tinggi.