Menu

Play Video

Bandung Bergerak x INFID Masih Temui Tindak Intoleransi dan Diskriminasi di Jawa Barat

Ilustrasi diskriminasi berdasarkan agama. (Shutterstock)

 

BANDUNG, BEENEWS.CO.ID – BandungBergerak bekerja sama dengan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), serta berkolaborasi dengan Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (Jakatarub) masih menemui beragam tindak intoleransi dan diskriminatif yang dialami oleh beberapa kelompok mikro-minoritas di lima daerah di Jawa Barat.

 

Salah satu dari temuan mereka adalah kisah perundungan yang dialami murid-murid penghayat kepercayaan Budi Daya di Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Kemudian, kisah kompleks yang berkaitan dengan “pembangunan” Gereja Katolik Bebas Santo Albanus, di Jalan Banda, Kota Bandung.

 

Ketiga, terdapat kisah umat Kristiani yang mengalami kesulitan permakaman sejak 2014 di Pangalengan, Kabupaten Bandung. Keempat, penyegelan masjid Jemaat Ahmadiyah di Kampung Nyalindung, Desa Ngamplang, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut untuk yang kesekian kalinya. Terakhir, kisah perjuangan perempuan masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan yang mempertahankan lahan adat di Cigugur, Kabupaten Kuningan.

 

Perwakilan LBH Pengayoman Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR), Valerianus Baetae Jehanu,menyatakan lima reportase yang dikerjakan BandungBergerak merupakan gejala peristiwa yang laten dan terjadi berulang kali di Jawa Barat.

 

Ia juga menganalisa bahwa kasus-kasus pelanggaran KBB cenderung meningkat ketika momentum tahun politik. Valeri menegaskan, pangkal persoalan dari kasus-kasus ini adalah negara gagal hadir untuk menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan.

 

“Dalam konteks kebebasan beragama kan ada dua hal posisi negara, negara itu gak bisa intervensi pada persoalan pilihan keyakinan seseorang atau forum internum. Tapi satu sisi dia harus aktif untuk memastikan perlindungan di aspek forum eksternum. Harusnya kan dia memberi perlindungan nih kepada yang didiskriminasi, tapi justru posisi negara atas nama ketertiban umum justru berada lebih dekat pada golongan yang menekan daripada yang ditekan,” kata Valeri.

 

Program Manager HAM dan Demokrasi INFID, Abdul Waidl, menegaskan bahwa konstitusi UUD 1945 telah memberikan jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi seluruh warga negara. Atas dasar inilah, menurutnya negara harus turut hadir dengan seluruh perangkatnya dan berperan aktif memastikan jaminan kebebasan tersebut dapat terlaksana.

 

“Dalam praktik pendidikan misalnya, maka guru, kurikulum, dan peraturan di tingkat nasional sampai lembaga pendidikan harus mengarah kepada penghargaan terhadap keragaman agama dan keyakinan yang dianut oleh peserta didik. Tidak boleh ada diskriminasi disebabkan oleh keyakinan yang berbeda. Semua memiliki hak yang sama untuk mendapat pelayanan yang baik,” terang Waidl.

 

Adapun masyarakat sipil, menurut Waidl, perlu menyadari bahwa jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan belum sebaik yang diharapkan. Masih ada kendala dan pelanggaran di lapangan, seperti kesulitan membangun rumah ibadah dan perlakuan tidak adil yang dialami kelompok minoritas agama dan keyakinan.

 

“Masyarakat sipil harus memastikan kerja-kerja advokasi dapat mendorong jaminan hak sipil politik dan hak ekonomi-sosial-budaya, termasuk dalam kebebasan beragama-berkayakinan dan akses yang sama oleh semua agama-keyakinan terhadap layanan negara seperti pendidikan, kesehatan, dan pemenuhan kesejahteraan,” ungkap Waidl.

(Yoga)

Play Video
WhatsApp Image 2024-06-15 at 14.24.22
Play Video
Play Video

Bukan HOAX Share Yuk!!!

Bagikan berita kepada kerabat dan teman di chat atau sosial media!

Share on facebook
Share on whatsapp
Share on twitter
Share on email

Artikel Terkait

Berita Populer Bulan Ini

graha pramuka
graha pramuka
graha
graha pelantaran
graha pelantaran
graha