Penulis Irmanto (Kepala Seksi Persemaian Unit I PT.RMU)
BEENEWS.CO.ID – Desa Kampung Melayu, Kecamatan Mendawai, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, adalah merupakan tempat kelahiran Sarli (45). Setelah lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP) pada umur 17 tahun ia sudah mulai bekerja sebagai penebang ilegal, dari niat pertama membantu orang sampai ia bisa bekerja mandiri.
Wilayah Tabukan, Bakumin, Kajang Pamali dan Sungai Parigi dahulunya adalah wilayah Kabupaten Kotawaringin Timur, sebelum akhirnya pemekaran wilayah di tahun 2003 dan menjadi Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah.
Di wilayah itu dulunya adalah merupakan tempat kegiatan ilegal yang pernah Sarli kerjakan, dengan jenis kayu favorit pada saat itu adalah Ramin (Gonystylus bancanus), kayu yang sangat diminati oleh para cukong (pengusaha besar).
Waktu itu, Sarli bersama Sarbani, Rizal, Muji, Siguy dan Yuli melakukan survei selama dua hari di wilayah yang potensi kayu raminnya masih berlimpah.
Sarli dan teman-teman membagi anggota menjadi tiga kelompok, satu kelompok berisi dua orang, kelompok dipecah untuk masing-masing melakukan survei ke bagian utara dan selatan.
Kelompok yang banyak menemukan rumpun kayu ramin dengan ukuran 30 up akan diberi tanda menggunakan cat berwarna merah, serta penebasan di sekeliling pohon.
Sebelum melakukan penebangan, dirumpun kayu ramin yang sudah ditandai ini dilakukan ritual khusus kepada penghuni hutan yang dipercayai masyarakat Dayak untuk meminta kelancaran pada saat penebangan.
Pemberian sesajen dilakukan diperwakilan pohon ramin yang besar, sesajen ditaruh di ancak (keranjang yang terbuat dari bambu) kemudian digantung.
Sesajen berisikan satu telur ayam kampung matang, bubur sagu warna merah, sirih pinang, serta satu batang rokok kretek merk nasional dan tujuh butir beras putih bersih.
Ritual pemberian sesajen dilakukan pada sore hari pukul 17.00 WIB, kemudian diambil lagi pada pukul 19.00 WIB, apabila butiran beras tadi retak maka pertanda ritual diterima oleh penghuni hutan dan bisa dilakukan penebangan.
Selanjutnya, pagi-pagi sekali, sekitar pukul 06.00 WIB, Sarli dan teman-temannya sudah bersiap untuk memulai kegiatan. Mereka berangkat dengan berjalan kaki sejauh 1,5 km menuju lokasi penebangan dengan jarak tempuh hanya 30 menit dari pondok yang mereka buat.
Tidak lupa mereka membawa bekal makanan, air minum dan gula merah untuk penambah energi disaat lelah, serta membawa perkakas peralatan kerja seperti gergaji potong cap mata dengan panjang 1,5 meter dan kapak merek diamond, dengan gagang sepajang 65 cm yang terbuat dari banir kayu kempas (Koompassia malaccensis) yang alot sebagai alat tebang manual.
Sesampainya di lokasi dipikiran Sarli dan teman-temannya hanyalah kayu ramin yang lurus, tinggi dan besar yang masuk kriteria dengan kualitas bagus.
Kayu hasil tebangan dengan rata-rata panjang 15 meter kemudian dibersihkan dari daun dan ranting, selanjutnya dilakukan pemotongan menjadi tiga bagian dengan panjang per potong 5 meter.
Untuk mengangkut kayu hasil tebangan dibuat jalan rel menuju pinggir sungai tempat penumpukan akhir. Untuk mempermudah pengangkutan jari-jari rel yang terbuat dari pohon kayu hutan ukuran sedang sesekali digosok sabun sunlight cap tangan agar licin, sehingga kayu mudah ditarik menggunakan kuda-kuda (gerobak untuk pengangkutan kayu).
Kayu yang sudah dirakit kemudian ditarik menggunakan perahu kecil menuju bandsaw untuk segera dijual.
Menurut cerita Sarli, rata-rata dalam satu bulan dari hasil tebangan sebanyak 100 pohon akan menghasilkan ± 45 kubik, harga kayu ramin saat itu hanya Rp75 ribu rupiah per kubik.
Dari hasil kegiatan Sarli selama menebang ia hanya sempat membeli sebidang tanah dengan ukuran 10 x 25 meter di Desa Kampung Melayu dan sebagian ditabung untuk membeli bahan bangunan rumah, serta sisanya untuk menikah di tahun 2000.
Sampai sekarang hasil dari kegiatan penebangan ilegal Sarli yang masih tersisa adalah berupa sebidang tanah, kapak tebang merek diamond yang masih ada di rumah serta tongkat tiang rumah dari kayu ulin yang masih berdiri kokoh.
Pada tahun 2004, kayu ramin masuk dalam appendix II dari CITES. Appendix II itu artinya perdagangan kayu ramin harus diatur dan diawasi secara ketat tidak hanya oleh negara penghasil tetapi juga oleh seluruh anggota CITES.
Dimasa itu kayu ramin sangat berkelas sehingga banyak digemari karena harganya yang mahal serta masuk kayu kualitas ekspor.
Keunikan ini membuat kayu ramin bernilai sangat tinggi, sebagai bahan baku untuk pengolahan mebel, interior, pembuatan venir, kayu lapis dan lain-lain.
Kemudian ada Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dirumuskan dalam Pasal 50 dan ketentuan pidana diatur dalam Pasal 78 yang menjadi dasar adanya perbuatan illegal logging.
Pada tahun 2004 dimasa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kegiatan illegal logging banyak berhenti, dan sanksi penangkapan bagi yang melanggar aturan, sehingga bagi para penebang ilegal kegiatan ini mulai ditinggalkan.
Saat itu Sarli hampir selama satu bulan tidak bekerja, dengan sedikit meninggalkan utang rokok dan sembako di warung tetangga. Hatinya merasa bahwa kegiatan penebangan ilegal ini sangat berbahaya dan tidak mungkin akan dilakukan kembali.
Seketika niat Sarli memutuskan untuk berubah profesi menjadi buruh bangunan, penebasan lahan milik warga, bertani, dan sesekali menggesek kayu yang sudah mati dan tumbang bekas terbakar sisa tahun 1997 silam, dengan jenis kayu seperti meranti dan ponak untuk bahan baku bangunan rumah, pembuatan perahu dan gedung walet.
Seiring berjalannya waktu perlahan Sarli menyadari bahwa apa yang dilakukannya dahulu salah.
“Dahulu saya mencari kayu untuk tambahan bangunan rumah dan bangunan ternak, memanfaatkan kayu-kayu di hutan dekat kampung mudah saja, sekarang sudah habis, kalaupun ada namun akses masuk kehutan cukup jauh,” ucap Sarli yang sederhana dan rendah hati ini.
Keterlibatan Sarli dalam program PT.Rimba Makmur Utama (RMU) dimulai pada tahun 2014, saat kegiatan awal menjadi Regu Siaga Api (RSA), lalu terlibat pembuatan sekat bakar hijau, pembuatan bangunan, menara pantau, pembuatan pos-pos dan kegiatan penanaman.
Dari hasil kegiatan bersama PT.RMU ini Sarli bisa menghidupi istri dan tiga orang anaknya, serta bisa membeli peralatan rumah, perahu, alat tukang dan membangun gedung walet.
Pada kegiatan penanaman yang sudah berlangsung, terlontar kata dari Sarli, “Dahulu wilayah ini ‘Tabukan’, yang merupakan tempat saya dan teman-teman menebang kayu ramin, sekarang saya melakukan penanaman di areal ini, saya harus benar-benar menanam, agar bibit yang saya tanam bisa hidup dan tumbuh dengan baik untuk menebus dosa dan kesalahan saya dimasa lalu, dimana ribuan pohon sudah saya tebang.”
Sarli pun berharap areal hutan yang rusak bisa pulih kembali, serta program-program yang dijalankan oleh PT.Rimba Makmur Utama (RMU) bersama masyarakat di sekitar wilayah konsesi bisa terus berlanjut.