JAKARTA, BEENEWS.CO.ID – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) turut menyampaikan pandangannya terkait Kasus proyek strategis nasional (PSN) di Pulau Rempang yang menimbulkan resistensi masyarakat.
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Lakpesdam PBNU) KH Ulil Abshar Abdalla menyinggung soal hasil Muktamar ke-34 NU di Lampung pada 2021. Muktamar tersebut menetapkan bahwa merampas tanah rakyat adalah tindakan yang dihukumi haram menurut syariat.
“PBNU berpandangan bahwa tanah yang sudah dikelola oleh rakyat selama bertahun-tahun, baik melalui proses iqtha’ (redistribusi lahan) oleh pemerintah atau ihya’ (pengelolaan lahan), maka hukum pengambilalihan tanah tersebut oleh pemerintah adalah haram,” tegas KH Ulil Abshar Abdalla, Ketua PBNU, saat Konferensi Pers di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Jumat (15/9).
Kendati demikian, Ulil menegaskan kembali bahwa hukum haram tersebut jika pengambilalihan tanah oleh pemerintah dilakukan dengan sewenang-wenang.
“Hasil Bahtsul Masail tersebut tidak serta merta dapat dimaknai menghilangkan fungsi sosial dari tanah sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan konstitusi kita,” katanya.
Ulil menegaskan Pemerintah sejatinya tetap memiliki kewenangan untuk mengambil-alih tanah rakyat dengan syarat dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan, dengan tujuan untuk menciptakan sebesar-besar kemakmuran rakyat, dan tentu harus menghadirkan keadilan bagi rakyat pemilik dan atau pengelola lahan.
Sementara Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya menegaskan bahwa PSN di Pulau Rempang harus mengedepankan kesentosaan masyarakat.
“Kesentosaan masyarakat harus dinomorsatukan. Masyarakat tidak boleh dijadikan korban atas investasi. Investasi harus dikembalikan ke maksud asalnya, yaitu kemaslahatan masyarakat, terutama masyarakat di wilayah destinasi investasi,” tegas Gus Yahya.
Gus Yahya menegaskan, meski terdapat pemahaman bahwa investasi dibutuhkan oleh negara, tapi investasi harus dijadikan peluang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, khususnya masyarakat di lingkungan destinasi itu sendiri.
“Seperti di Rempang tapi bermasalah. Investasi harus dikembalikan untuk masyarakat banyak, masyarakat tidak boleh menjadi korban. Apapun itu kesentosaan dari masyarakat itu nomor satu,” jelas Gus Yahya.
“Masyarakat tidak boleh menjadi korban, karena itu melanggar tujuan investasi itu sendiri,” tegasnya.
Terkait pernyataan sikap yang selama ini belum muncul, Gus Yahya menerangkan bahwa NU tidak pernah dilibatkan dari awal sehingga perlu mempelajarinya terlebih dahulu.
“Pertama tentu saja yang harus ditanya ialah pihak-pihak terkait proyek tersebut,” tegas Gus Yahya.
Lebih lanjut, Gus Yahya mengatakan bahwa PBNU mendorong pemerintah untuk segera memperbaiki pola-pola komunikasi dan segera menghadirkan solusi penyelesaian persoalan ini.
“Dengan memastikan agar kelompok yang lemah dipenuhi hak-haknya, serta diberikan afirmasi dan fasilitasi,” ujarnya.
PBNU, jelas Gus Yahya, juga mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk lebih meyakinkan masyarakat mengenai pentingnya proyek strategis nasional dan kemaslahatannya bagi masyarakat umum.
“Serta memastikan tidak adanya perampasan hak-hak serta potensi kerusakan lingkungan hidup dan sumber daya alam,” tegasnya.
(Fakhry)