Selain itu, di bidang akademik, Tholabi juga menyebutkan, bahwa AI telah memberi tantangan yang kompleks dalam menghadirkan otentisitas dan originalitas karya ilmiah.
“Kita belum tuntas menghadapi keberadaan digital melalui mesin pencari seperti Google, terkait menjaga orisinalitas dan otentisitas karya ilmiah. Sekarang kita justru dihadapkan keberadaan AI yang jauh lebih canggih dan kompleks,” tegas Tholabi.
Keberadaan AI sendiri, yang bisa diwujudkan dalam bentuk teks, audio, video, dan gambar, dinilai rentan menjadi medium untuk tindakan yang keluar dari etika dan hukum. Tholabi menyebut, situasi tersebut patut diwaspadai, khususnya saat momentum politik seperti Pemilu di tahun 2024 nanti.
“Jangan sampai AI justru menjadi medium penyebaran informasi yang distortif dan mengacaukan publik. Ini yang harus kita antisipasi,” ingat Tholabi.
Oleh sebab itu, Tholabi menyerukan, agar negara dan pemangku kepentingan bisa bersama menyiapkan aturan hukum, untuk mengelola keberadaan AI, dalam rangka mewujudkan kebaikan dan kemajuan untuk publik.
“Di sinilah urgensi dan signifikansi aturan tentang AI. Potensi kerumitan yang muncul dari AI harus dibaca dengan baik oleh negara dengan menyiapkan perangkat hukum yang solid dan memberi aspek proteksi kepada publik,” pungkasnya.