JAKARTA, BEENEWS.CO.ID – Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Sakti Wahyu Trenggono, memberikan klarifikasi atas aturan ekspor pasir laut.
Menurutnya, narasi yang beredar baru-baru ini terkait kebijakan tersebut perlu diluruskan.
Ia menampik bahwa kebijakan tersebut dikatakan sebagai bentuk menjual negara.
“Ini bukan menjual negara. Ini tidak menjual negara,” ujarnya, di Kantor Kementerian KKP, Rabu (31/5).
Trenggono mengatakan, bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut justru memberikan aturan yang lebih jelas.
Sedimentasi di dasar laut Indonesia, jelas Trenggono, setiap tahunnya mencapai 20 miliar kubik.
Berangkat dari sana, kini pemerintah mewajibkan reklamasi harus menggunakan hasil sedimentasi tersebut.
Dengan kata lain, penggunaan pasir laut untuk reklamasi menjadi terukur karena tidak dikeruk dari sembarang lokasi.
Trenggono turut meluruskan kekhawatiran banyak pihak mengenai ancaman kerusakan ekologi dari aktivitas pemanfaatan pasir laut.
PP tersebut menurutnya justru sarat akan kepentingan ekologi, karena hasil sedimentasi yang tidak dikelola dengan baik malah dapat mengancam keberlanjutan ekosistem laut.
Tak hanya itu, jelas Trenggono, hasil sedimentasi juga dapat mengganggu alur pelayaran kapal yang akhirnya menghambat aktivitas ekonomi di laut.
“Komitmen kami ekologi sebagai panglima itu tidak berubah. Bisa dilihat bagaimana kami menindak kegiatan-kegiatan di ruang laut yang mengancam keberlanjutan ekologi. Sudah berapa banyak kegiatan reklamasi yang kami hentikan, termasuk operasional kapal pengeruk pasir di Pulau Rupat beberapa waktu lalu,” ungkapnya.
Trenggono menekankan bahwa PP 26/2023 turut mengedepankan keterbukaan dalam pengelolaan dan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut.
Hal itu ditunjukkan dengan pembentukan Tim Kajian yang terdiri dari unsur pemerintah, perguruan tinggi, hingga aktivis lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Bab Perencanaan.
Adapun tugas Tim Kajian tersebut adalah menyusun dokumen perencanaan Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang berisi sebaran lokasi prioritas, jenis mineral, dan volume hasil sedimentasi di laut, prakiraan dampak sedimentasi terhadap lingkungan, upaya untuk pengendalian hasil sedimentasi di laut, rencana pemanfaatan hasil sedimentasi di laut, dan rencana rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut.
“Ada Tim Kajian yang menentukan yang diisi berbagai unsur, dari pemerintah, para pakar dan juga lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada lingkungan. Jadi kalau tim ini tidak mengizinkan untuk dilakukan pemanfaatan hasil sedimentasi, ya tidak bisa, termasuk untuk ekspor itu,” ungkapnya.
KKP saat ini sedang menyusun aturan dari peraturan pemerintah yang terbit pada 15 Mei tersebut.
“Aturan turunannya sedang kita kerjakan, sehingga nanti teman-teman bisa lebih detail melihat tata kelola sedimentasi ini,” ujarnya.
Sebelumnya, presiden Jokowi sebelumnya menerbitkan PP 26 tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Dalam aturan itu, Jokowi mengizinkan sejumlah pihak untuk mengeruk pasir laut dengan dalih mengendalikan hasil sedimentasi di laut.
Dalam Pasal 9 beleid itu, Jokowi mengatur pasir laut yang sudah dikeruk dapat dimanfaatkan untuk beberapa keperluan seperti reklamasi di dalam negeri, dan pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha.
Serta ekspor, sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Indonesia sendiri tercatat telah 20 tahun melarang praktik ekspor pasir laut.
Kala itu terbit aturan dari Menteri Perindustrian dan Perdagangan era Megawati, Rini Soemarno, lewat Kepmenperin Nomor 117 Tahun 2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.
(Fakhry)